Tumpukan Sampah Tertinggi Di Indonesia

Posted on
  • by
  • in
  • Label:
  • Saya beruntung Kamis (260712) berkesempatan menjadi dokter untuk Program Bakti Sosial di sebuah tempat yang nyaris tidak pernah saya ingat keberadaannya.  Padahal setiap hari saya termasuk penyumbang aktif tempat ini. Yap…saya berada di kawasan pembuangan akhir di TPA Sumur Batu, Bantar Gebang, Bekasi.
    13433449292031650823
    Gununga sampah tertinggi di Indonesia (Dok Pribadi)
    Membutuhkan jalan berliku sekitar dua jam lebih dari Jakarta untuk masuk ke area ini dan jujur ini kali pertama saya menginjakannya.  Melihat tumpukan sampah yang menyembul bahkan menjulang tinggi menyerupai gunung ini mengingatkan saya akan TPA di Purbalingga yang sebagian besar sampahnya berasal dari Purwokerto. Nyatanya, gunung sampah di Bekasi yang memuat sampah seluruh penduduk Jakarta ini adalah gunung sampah tertinggi yang pernah saya lihat.  Sepertinya saya tidak mungkin menemukan gunung seperti ini lagi di belahan dunia manapun.
    13433449791507880083
    Selalu menggunung, tidak pernah berubah (Dok Pribadi)
    1343345090787509503
    Bagaimana menguranginya? mulai dari diri sendiri (Dok Pribadi)
    Mengapa bisa menjadi sedemikian tinggi? Saya terus berpikir sampai akhirnya bertemu puluhan warga yang seharinya berprofesi menjadi pemulung.  Saya bersyukur mereka benar-benar ada di dunia ini jika tidak, entahlah akan setinggi apalagi gunung sampah tersebut. Ternyata, dari obrolan dengan mereka sembari saya memeriksa kesehatannya, didapatkan data yang luar binasa. Setiap harinya ada paling sedikit 700 truk pengangkut sampah dari Jakarta yang datang dengan membawa muatan kisaran 3 ton sampah setiap truknya.  Perkiraan kasarnya ada 2100 ton sampah setiap harinya yang menjadi gunung baru di tempat ini. Setiap HARI kawan.  Hati saya meringis.
    1343345257190286103
    Kumpulan sampah plastik yang akan didaur ulang, pemandangan biasa di tiap rumah disana (Dok Pribadi)
    Beginikah sampah-sampah kecil yang selama ini saya tumpuk ternyata menjadi (benar-benar) gunung sampah? Padahal selama ini saya membuat sampah yang kalau dihitung mungkin ada sekilo setiap harinya.  Pantas saja bila Jakarta menyumbang 2.100.000 kilo sampah ke Bekasi.
    Bau menyengat langsung terasa ketika kaca mobil dibuka.  Saya jadi teringat zaman merintis karir, dokter adalah orang yang paling bisa menahan segala macam bau.  Kita dipaksa untuk tidak menutup hidung seberapun bau di hadapan kita mulai dari bau darah, muntahan, lendir, bahkan kotoran manusia hingga berbagai bau penyakit kronis. Tapi, penduduk di sekitar TPA ini bukan dokter dan mereka dipaksa untuk membiasakan diri dengan bau yang dapat saya katakan lebih bau dari semua pelajaran selama saya menjadi dokter.  Lagi-lagi, SETIAP HARI.
    TPA ini berada di wilayah yang berbeda kepemimpinan maka penduduk sekitar mendapatkan “uang bau”. Yah…ada uang sebagai pengganti untuk warga sekitar yang tercemar bau.  Tapi lagi-lagi saya terhenyak ketika jumlah nominalnya saya rasa tidak cukup untuk membalas “bau bangkai” di sekitar sampah.  Bahkan lebih kecil dari uang Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dulu pernah menaikkan pamor presiden. Yah…hanya 100 ribu saja per kepala keluarga tiap bulan dan keluar setiap tiga bulan sekali alias dirapel.  Padahal yang mereka rasakan bukan itu saja. Bukan hanya BAU yang dapat mereka anggap biasa sekarang.  Bahkan terkadang mereka sudah tidak terlalu peduli kesehatan mereka.
    Bagaimana saya tidak miris, dari sekitar seratus warga yang berobat, kebanyakan di antaranya anak-anak dan kaum ibu karena di siang hari para bapak masih fokus bekerja. Dan sebagian besar terkena penyakit ISPA. Yah…batuk pilek sudah menjadi penyakit langganan kedua setelah penyakit kulit.  Namun, bukan hanya batuk pilek biasa karena sepengamatan kaca mata medis saya, nyaris anak-anak yang saya periksa mengalami pertumbuhan badan yang tidak sesuai dengan umurnya.  Memang belum jatuh ke penyakit gizi kurang yang drastis namun jika disertai batuk pilek berulang justru yang saya takutkan adalah penyakit flek paru (TB Paru).
    Anak-anak yang seharusnya menjadi aset bangsa lagi-lagi harus menjadi korban.  Mereka kehilangan hak untuk menghirup udara bersih dan untuk terbebas dari asap rokok para bapak yang jika tidak merokok maka seolah-olah akan mati.  Anak-anak ini bahkan kehilangan hak untuk menikmati air bersih karena bau air yang ada disana sudah bercampur dengan rembesan sampah.  Saya butuh penyesuaian ketika mencium bau airnya.
    Beruntung di tempat itu ada Pak Juwarto yang menginisiasi pembangunan sekolah alam “Tunas Mulia”.  Sekolah gratis mulai dari PAUD hingga SMA yang saat ini sudah mencapai 250 siswanya ini benar-benar gratis.  Saya sempat melongo ketika mengetahui usia sekolah alam ini sudah  tujuh tahun. Hebatnya lagi Pak Juwarto tidak hanya mengandalkan berbagai CSR untuk membantu kelangsungan hidup setiap bulannya tetapi juga mengajarkan penanaman pohon hijau dan ketrampilan lain kepada penduduk sekitar. Namun, tetap saja terkadang jumlahnya masih harus tutup dan gali lubang.  Beruntung, semua guru yang ada di tempat ini memang bermental baja dan tulus ikhlas mengajar anak-anak.  Sebagian di antaranya penduduk asli namun banyak juga yang didatangkan dari luar bekasi dan rela menempuh perjalanan berat setiap harinya.  Mereka bersyukur tatkala melihat anak-anak yang diajar menjadi bisa membaca dan pintar.  Perkara gaji bulanan, mereka dengan ringan berkata “Alhamdulillah cukup dan rezeki akan datang dari tempat lain”.  Luar biasa, saya belajar banyak keikhlasan dari mereka.  Bersyukur ada para guru yang luar biasa ini sehingga anak-anak tadi tidak kehilangan kesempatan untuk belajar.
    1343345645227175025
    Kreativitas warga menyelamatkan lingkungannya (Dok Pribadi)
    1343345769833900968
    Harusnya penghijauan bisa diupayakan di lahan yang lebih besar dg bantuan kita semua (Dok Pribadi)
    Memasuki ruangan perpustakaannya yang mungil membuat saya teringat bahwa saya masih punya perpusatakaan Rumah Cahaya yang saya bangun empat tahun lalu di Purwokerto.  Saya tahu anak-anak sekitarnya sudah bosan membaca buku yang sama selama bertahun-tahun dimana saya tidak selalu bisa mengupdate buku tiap bulannya. Lagi-lagi karena memang saya masih berada di tempat lain.  Selama ini saya jarang berbagi buku dengan tempat-tempat yang jauh kecuali saya pernah menginjaknya seperti Sumba. Namun, melihat sorot semangat di mata anak-anak membuat saya ingin cepat sampai di perpustakaan saya dan memasukkan semua buku anak yang sekiranya dapat membuat mereka lebih bersemangat lagi.
    1343345984396210655
    Bukan hanya kurang buku, mereka jg butuh tambahan lemari buku (Dok Pribadi)
    1343346119139899702
    Jangan malu atau takut nak…kamu akan terus sekolah (Dok Pribadi)
    Yah…saya paling tidak bisa melihat anak-anak sakit, rasanya hati saya ikut sakit.  Tidak bisa melihat anak-anak terampas haknya lebih banyak lagi.  Hanya begini saja kah yang bisa saya lakukan sementara kedatangan saya mungkin untuk pertama dan terakhir kalinya? Memeriksa keadaan anak-anak itu dan setelahnya pulang.  Mereka akan sembuh saat itu tapi setelahnya pasti akan kembali kumat penyakitnya karena hal mendasar yang menjadi penyebab sakitnya tidak ditangani.  Lalu apa saya bisa menangani tumpukan sampah sedemikian tinggi itu? Rasanya akan sulit jika meminta semua penduduk Jakarta tidak membuang sampah sembarang karena nyatanya kali Ciliwung selalu penuh sampah.  Tidak pernah ada rasa kasian terhadap sungai sedikitpun ketika dengan mudah kita membuang sampah ke dalamnya. Semuanya karena KEBIASAAN.  Yah…karena sudah biasa dan semua orang pun melakukannya maka kebaikan-kebaikan teredam.
    Saya tidak akan muluk-muluk. Saya akan mencoba memperbaiki dari hal kecil, diri saya dulu.  Ketika ada sampah kecil yang mampu untuk saya bakar maka saya akan membakarnya.  Ketika sampah organik bisa dipisahkan sendiri dengan sampah anorganik maka saya akan mencoba memisahkan sendiri.  Ketika masih bisa memungut sampah di jalanan dan meletakkannya di bak sampah, saya akan berusaha.  Memang ini tidak mudah, tapi bagaimana mungkin saya memaksa semua warga Jakarta untuk peduli kalau saya saja tidak mulai peduli?
    Dan…sepertinya saya akan kesana lagi membawa tumpukan buku cerita untuk anak-anak.  Tidak menutup kemungkinan jika ada yang ingin menitipkan buku atau baju bekas atau peralatan sekolah atau apapun itu. Yah benar…apapun itu… cobalah tilik sebentar isi rumah anda dan jika dirasa ada barang-barang yang sudah tidak terlalu berguna untuk anda pribadi namun masih bisa digunakan orang lain…yah ambil itu dan datang ke acara buka bersama kompasioner tanggal 4 Agustus besok.  Saya akan berusaha sekuat tenaga untuk kembali ke TPA ini dan saya rasa….saya butuh bantuan para sesepuh kompasiana nantinya.
    Yap…mulai dari diri saya dulu lalu colek-colek para kompasioner dan saya yakin kebaikan itu akan menular, menemukan benang merahnya.  Tidak percaya, saya jawil Bang Handry Satriago, CEO General Electric yang pernah hadir setahun lalu di sekolah alam ini. Karena kebetulan saya pernah bertemu beliau maka saya berbincang dengan warga juga tentang kedatangan GE setahun lalu.  Yah…walau sudah berlalu lama, luar biasa, mereka masih ingat ketika kampungnya difasilitasi lampu listrik dari GE.  Ketika diberikan pelatihan ataupun ketika ada tambahan permainan di sekolah alam itu.  Saya belajar tentang kebaikan yang menular dan menemukan benang merah di dalamnya.  Kebaikan itu walau sekecil apapun, dari hati yang tulus, dia akan mencapai hati manusia juga, berkembang biak di dalamnnya dan keluar bagai bom kebaikan lainnya.
    Terima kasih untuk semua warga yang hadir di pengobatan massal sekaligus pemberian sembako dari PT SAR (Sukses Abadi Raya), spesialis obat herbal Vermint. Terima kasih untuk Amil Zakat yang memberikan informasi keberadaan tempat ini.  Terima kasih….justru saya yang belajar banyak dari para warga hebat yang selama ini saya lupakan.  Terima kasih….saya beruntung bertemu anda semua.
    13433462631555878973
    Direktur PT SAR membuka acara
    1343346363163255004
    Bersama sejawat sekaligus sahabat saya, dr. Nadia Alkatiri (Dok Pribadi)
    Saya pasti (insyaallah) kesana lagi…secepatnya selagi masih Ramadhan dan belum dioper ke pedalaman :)
    1343346431507543668
    dr. Hafiidhaturrahmah sebelum diserbu pasien dan tidak mengenal foto lagi kalau sudah megang pasien (Dok Pribadi)
    sumber


    Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...