Saya beruntung Kamis (260712) berkesempatan menjadi dokter untuk Program
Bakti Sosial di sebuah tempat yang nyaris tidak pernah saya ingat
keberadaannya. Padahal setiap hari saya termasuk penyumbang aktif
tempat ini. Yap…saya berada di kawasan pembuangan akhir di TPA Sumur
Batu, Bantar Gebang, Bekasi.
Membutuhkan jalan berliku sekitar dua jam lebih dari Jakarta untuk masuk
ke area ini dan jujur ini kali pertama saya menginjakannya. Melihat
tumpukan sampah yang menyembul bahkan menjulang tinggi menyerupai gunung
ini mengingatkan saya akan TPA di Purbalingga yang sebagian besar
sampahnya berasal dari Purwokerto. Nyatanya, gunung sampah di Bekasi
yang memuat sampah seluruh penduduk Jakarta ini adalah gunung sampah
tertinggi yang pernah saya lihat. Sepertinya saya tidak mungkin
menemukan gunung seperti ini lagi di belahan dunia manapun.
Mengapa bisa menjadi sedemikian tinggi? Saya terus berpikir sampai
akhirnya bertemu puluhan warga yang seharinya berprofesi menjadi
pemulung. Saya bersyukur mereka benar-benar ada di dunia ini jika
tidak, entahlah akan setinggi apalagi gunung sampah tersebut. Ternyata,
dari obrolan dengan mereka sembari saya memeriksa kesehatannya,
didapatkan data yang luar binasa. Setiap harinya ada paling sedikit 700
truk pengangkut sampah dari Jakarta yang datang dengan membawa muatan
kisaran 3 ton sampah setiap truknya. Perkiraan kasarnya ada 2100 ton
sampah setiap harinya yang menjadi gunung baru di tempat ini. Setiap
HARI kawan. Hati saya meringis.
Beginikah sampah-sampah kecil yang selama ini saya tumpuk ternyata
menjadi (benar-benar) gunung sampah? Padahal selama ini saya membuat
sampah yang kalau dihitung mungkin ada sekilo setiap harinya. Pantas
saja bila Jakarta menyumbang 2.100.000 kilo sampah ke Bekasi.
Bau menyengat langsung terasa ketika kaca mobil dibuka. Saya jadi
teringat zaman merintis karir, dokter adalah orang yang paling bisa
menahan segala macam bau. Kita dipaksa untuk tidak menutup hidung
seberapun bau di hadapan kita mulai dari bau darah, muntahan, lendir,
bahkan kotoran manusia hingga berbagai bau penyakit kronis. Tapi,
penduduk di sekitar TPA ini bukan dokter dan mereka dipaksa untuk
membiasakan diri dengan bau yang dapat saya katakan lebih bau dari semua
pelajaran selama saya menjadi dokter. Lagi-lagi, SETIAP HARI.
TPA ini berada di wilayah yang berbeda kepemimpinan maka penduduk
sekitar mendapatkan “uang bau”. Yah…ada uang sebagai pengganti untuk
warga sekitar yang tercemar bau. Tapi lagi-lagi saya terhenyak ketika
jumlah nominalnya saya rasa tidak cukup untuk membalas “bau bangkai” di
sekitar sampah. Bahkan lebih kecil dari uang Bantuan Langsung Tunai
(BLT) yang dulu pernah menaikkan pamor presiden. Yah…hanya 100 ribu saja
per kepala keluarga tiap bulan dan keluar setiap tiga bulan sekali
alias dirapel. Padahal yang mereka rasakan bukan itu saja. Bukan hanya
BAU yang dapat mereka anggap biasa sekarang. Bahkan terkadang mereka
sudah tidak terlalu peduli kesehatan mereka.
Bagaimana saya tidak miris, dari sekitar seratus warga yang berobat,
kebanyakan di antaranya anak-anak dan kaum ibu karena di siang hari para
bapak masih fokus bekerja. Dan sebagian besar terkena penyakit ISPA.
Yah…batuk pilek sudah menjadi penyakit langganan kedua setelah penyakit
kulit. Namun, bukan hanya batuk pilek biasa karena sepengamatan kaca
mata medis saya, nyaris anak-anak yang saya periksa mengalami
pertumbuhan badan yang tidak sesuai dengan umurnya. Memang belum jatuh
ke penyakit gizi kurang yang drastis namun jika disertai batuk pilek
berulang justru yang saya takutkan adalah penyakit flek paru (TB Paru).
Anak-anak yang seharusnya menjadi aset bangsa lagi-lagi harus menjadi
korban. Mereka kehilangan hak untuk menghirup udara bersih dan untuk
terbebas dari asap rokok para bapak yang jika tidak merokok maka
seolah-olah akan mati. Anak-anak ini bahkan kehilangan hak untuk
menikmati air bersih karena bau air yang ada disana sudah bercampur
dengan rembesan sampah. Saya butuh penyesuaian ketika mencium bau
airnya.
Beruntung di tempat itu ada Pak Juwarto yang menginisiasi pembangunan
sekolah alam “Tunas Mulia”. Sekolah gratis mulai dari PAUD hingga SMA
yang saat ini sudah mencapai 250 siswanya ini benar-benar gratis. Saya
sempat melongo ketika mengetahui usia sekolah alam ini sudah tujuh
tahun. Hebatnya lagi Pak Juwarto tidak hanya mengandalkan berbagai CSR
untuk membantu kelangsungan hidup setiap bulannya tetapi juga
mengajarkan penanaman pohon hijau dan ketrampilan lain kepada penduduk
sekitar. Namun, tetap saja terkadang jumlahnya masih harus tutup dan
gali lubang. Beruntung, semua guru yang ada di tempat ini memang
bermental baja dan tulus ikhlas mengajar anak-anak. Sebagian di
antaranya penduduk asli namun banyak juga yang didatangkan dari luar
bekasi dan rela menempuh perjalanan berat setiap harinya. Mereka
bersyukur tatkala melihat anak-anak yang diajar menjadi bisa membaca dan
pintar. Perkara gaji bulanan, mereka dengan ringan berkata
“Alhamdulillah cukup dan rezeki akan datang dari tempat lain”. Luar
biasa, saya belajar banyak keikhlasan dari mereka. Bersyukur ada para
guru yang luar biasa ini sehingga anak-anak tadi tidak kehilangan
kesempatan untuk belajar.
Memasuki ruangan perpustakaannya yang mungil membuat saya teringat bahwa
saya masih punya perpusatakaan Rumah Cahaya yang saya bangun empat
tahun lalu di Purwokerto. Saya tahu anak-anak sekitarnya sudah bosan
membaca buku yang sama selama bertahun-tahun dimana saya tidak selalu
bisa mengupdate buku tiap bulannya. Lagi-lagi karena memang saya masih
berada di tempat lain. Selama ini saya jarang berbagi buku dengan
tempat-tempat yang jauh kecuali saya pernah menginjaknya seperti Sumba.
Namun, melihat sorot semangat di mata anak-anak membuat saya ingin cepat
sampai di perpustakaan saya dan memasukkan semua buku anak yang
sekiranya dapat membuat mereka lebih bersemangat lagi.
Yah…saya paling tidak bisa melihat anak-anak sakit, rasanya hati saya
ikut sakit. Tidak bisa melihat anak-anak terampas haknya lebih banyak
lagi. Hanya begini saja kah yang bisa saya lakukan sementara kedatangan
saya mungkin untuk pertama dan terakhir kalinya? Memeriksa keadaan
anak-anak itu dan setelahnya pulang. Mereka akan sembuh saat itu tapi
setelahnya pasti akan kembali kumat penyakitnya karena hal mendasar yang
menjadi penyebab sakitnya tidak ditangani. Lalu apa saya bisa
menangani tumpukan sampah sedemikian tinggi itu? Rasanya akan sulit jika
meminta semua penduduk Jakarta tidak membuang sampah sembarang karena
nyatanya kali Ciliwung selalu penuh sampah. Tidak pernah ada rasa
kasian terhadap sungai sedikitpun ketika dengan mudah kita membuang
sampah ke dalamnya. Semuanya karena KEBIASAAN. Yah…karena sudah biasa
dan semua orang pun melakukannya maka kebaikan-kebaikan teredam.
Saya tidak akan muluk-muluk. Saya akan mencoba memperbaiki dari hal
kecil, diri saya dulu. Ketika ada sampah kecil yang mampu untuk saya
bakar maka saya akan membakarnya. Ketika sampah organik bisa dipisahkan
sendiri dengan sampah anorganik maka saya akan mencoba memisahkan
sendiri. Ketika masih bisa memungut sampah di jalanan dan meletakkannya
di bak sampah, saya akan berusaha. Memang ini tidak mudah, tapi
bagaimana mungkin saya memaksa semua warga Jakarta untuk peduli kalau
saya saja tidak mulai peduli?
Dan…sepertinya saya akan kesana lagi membawa tumpukan buku cerita untuk
anak-anak. Tidak menutup kemungkinan jika ada yang ingin menitipkan
buku atau baju bekas atau peralatan sekolah atau apapun itu. Yah
benar…apapun itu… cobalah tilik sebentar isi rumah anda dan jika dirasa
ada barang-barang yang sudah tidak terlalu berguna untuk anda pribadi
namun masih bisa digunakan orang lain…yah ambil itu dan datang ke acara
buka bersama kompasioner tanggal 4 Agustus besok. Saya akan berusaha
sekuat tenaga untuk kembali ke TPA ini dan saya rasa….saya butuh bantuan
para sesepuh kompasiana nantinya.
Yap…mulai dari diri saya dulu lalu colek-colek para kompasioner dan saya
yakin kebaikan itu akan menular, menemukan benang merahnya. Tidak
percaya, saya jawil Bang Handry Satriago,
CEO General Electric yang pernah hadir setahun lalu di sekolah alam
ini. Karena kebetulan saya pernah bertemu beliau maka saya berbincang
dengan warga juga tentang kedatangan GE setahun lalu. Yah…walau sudah
berlalu lama, luar biasa, mereka masih ingat ketika kampungnya
difasilitasi lampu listrik dari GE.
Ketika diberikan pelatihan ataupun ketika ada tambahan permainan di
sekolah alam itu. Saya belajar tentang kebaikan yang menular dan
menemukan benang merah di dalamnya. Kebaikan itu walau sekecil apapun,
dari hati yang tulus, dia akan mencapai hati manusia juga, berkembang
biak di dalamnnya dan keluar bagai bom kebaikan lainnya.
Terima kasih untuk semua warga yang hadir di pengobatan massal sekaligus pemberian sembako dari PT SAR (Sukses Abadi Raya), spesialis obat herbal Vermint. Terima kasih untuk Amil Zakat yang
memberikan informasi keberadaan tempat ini. Terima kasih….justru saya
yang belajar banyak dari para warga hebat yang selama ini saya lupakan.
Terima kasih….saya beruntung bertemu anda semua.
Saya pasti (insyaallah) kesana lagi…secepatnya selagi masih Ramadhan dan belum dioper ke pedalaman :)