Kisah ayu sang pelacur demi kepintingan izajah SMA



“Maaf ya lama datangnya, soalnya macet,” ujar Ayu saat tiba di salah satu kafe di kawasan Jalan Gatot subroto, Samarinda. Sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman dia berujar, “Eh, wawancaranya ini enggak gratis lho.” Lalu, dia tertawa lebar.

Tentu, dandanan berkelas dan serba mewah yang ditampilkan gadis ramping berusia 24 tahun itu tak dibiayai dari gajinya sebagai kasir. Sejak lulus SMP, Ayu sudah terjerumus ke dalam bisnis pelacuran. Kala itu, dia mencoba peruntungannya di Jakarta.

“Awalnya saya gadis baik-baik kok. Sayangnya, saya tidak sabar mencari pekerjaan halal, akhirnya takdir membawa saya menjadi ladies di Ibu Kota,” ungkapnya.
Tanpa ditanya, gadis itu langsung menceritakan perjalanan hidupnya. Dia seolah sudah mengerti apa yang diinginkan pencari berita. Sebab, tak hanya sekali ini dia diwawancarai seputar kehidupan dunia malam yang digelutinya.

Mulanya, Ayu pergi ke Ibu Kota untuk mencari kerja. Sayang, latar belakang pendidikan yang hanya lulusan SMP tak membuatnya mendapat banyak pilihan pekerjaan.
Ayu yang datang dari pelosok desa di Kalimantan Timur lantas hijrah ke Samarinda. Alasannya, dia melihat tetangga sebayanya yang berhasil menjadi kaya setelah dua tahun merantau di Kota Tepian.
“Dari kawan saya itulah, akhirnya saya tahu kalau ada pekerjaan di salah satu kelab malam. Dia bilang cuma kasir dan front office. Ternyata, yang dibutuhkan penari dan ladies yang harus menemani tamu-tamu yang datang,” kata Ayu.

Sejak saat itu, Ayu pun menekuni profesi gandanya sebagai pekerja seks komersial. Namun, berkali-kali dia mengingatkan bahwa dia PSK “berkelas” dan bukan PSK pinggir jalan.
Dulu, saat pertama bekerja sebagai pelacur, Ayu mengaku bisa menerima sembarang tamu. Tetapi, setahun berjalan, dia mulai terkenal dan tidak sembarang mencari pelanggan. Tarifnya kini Rp 1 juta per malam. Tak hanya itu, Ayu hanya mau menginap di hotel berbintang dengan kendaraan mobil pribadi. Bahkan, tak jarang, Ayu meminta pembayaran dalam bentuk mata uang dollar AS.

Memanfaatkan situs jejaring sosial dan layanan BlackBerry Messenger, Ayu menjajakan diri kepada para pelanggannya. Uang yang diperoleh dari “bisnis” inilah yang lalu digunakan Ayu untuk “memperbaiki” diri. Tak hanya secara fisik, Ayu pun menaikkan “kelasnya” dengan cara mencari ijazah SMA dan berkuliah.
Ayu mengaku berhasil membuat ijazah “bodong” sebagai modal untuk mendaftar ke perguruan tinggi ternama di Samarinda. Kini, Ayu yang hanya lulusan SMP itu sudah tercatat sebagai seorang mahasiswi.

Dia sadar dengan ijazah seadanya dia tidak akan bisa mencari pekerjaan yang diimpikan. Jika harus kembali ke kampung, maka ia akan menanggung malu. Sebab, saat mau berangkat, dia menceritakan ke semua tetangganya kalau dia akan kaya raya saat pulang nanti.

“Hidup itu singkat, buat apa menangisi takdir. Lebih baik tetap tersenyum dan menjauh dari pikiran-pikiran yang bikin cepat tua,” celoteh perempuan berlesung pipit ini
Malam semakin larut. Namun, percakapan dengan Ayu, wanita pekerja seks komersial yang ‘sukses’ menaklukkan Kota Samarinda, belum juga berakhir.

Setelah bercerita panjang tentang awal perjalanan hidupnya hingga terjun ke dunia hitam, gadis 24 tahun ini lalu bercerita tentang pandangan orang kepada dirinya.
“Hampir semua orang tidak menyukai saya. Semua bilang saya pelacur, sehingga harus dijauhi. Padahal saya begini karena ada alasannya. Saya butuh kehidupan yang layak. Uang yang banyak untuk menafkahi keluarga saya,” kata Ayu dengan nada tinggi.

Ayu yang asalnya dari sebuah kampung di padalaman Kalimantan Timur, datang ke Samarinda dengan harapan menjadi kaya. Sebagian mimpinya sudah tercapai. Dengan penghasilannya sekarang, dia bisa melakukan banyak hal, termasuk membiayai kehidupan keluarganya di kampung.
“Ayah saya petani, sedang ibu saya cuma pegawai pengupas bawang di kampung. Adik-adik saya ada lima, kasihan mereka harus hidup dengan kemiskinan. Dari situ saya semangat pergi ke Samarinda, saya harus menerima semua pekerjaan. Walaupun akhirnya saya tahu, kalau pekerjaan ini adalah pekerjaan yang diharamkan agama,” kata Ayu lirih.

Meski demikian, Ayu terus melakukan pekerjaannya itu. Kalau ditanya orangtua, dia mengaku bekerja di salah satu kafe sebagai kasir. “Saya tidak mau orangtua tau apa yang saya lakukan di sini. Saya harus menjaga hati mereka, agar mereka tidak merasa hancur,” ujar Ayu lagi.

“Lumayan lo, setiap malam dapat sejuta, tiap bulan dapat gaji lagi dari klub kalau ada job nari. Tapi enggak bisa beli mobil, soalnya uangnya pasti dikirim ke kampung dan habis untuk berdandan,” katanya.
Bicara soal dandan, Ayu memang terlihat sangat mewah. Aroma parfum mahal pun tercium setiap kali dia menggerakkan tubuhnya. “Parfum saya saja harga jutaan. Kalau tidak punya uang, jangan coba-coba ngubungin saya deh,” cetus Ayu yang berkali-kali mengaku sebagai palacur ‘berkelas’.

Selain mempercantik diri dengan perawatan mahal, Ayu terus mengumpulkan rupiah. Seperti yang dia telah ceritakan, dia “berhasil” membeli ijazah SMA ‘bodong’ dan berkuliah di salah satu perguruan tinggi ternama di kota itu.
“Hebat kan saya? Saya adalah pekerja seks kelas atas. Apa yang saya dapat adalah jerih payah. Saya tidak akan mengabaikan semua pendapatan hanya untuk bersenang-senang. Maka saya harus kuliah dan berpendidikan seperti mereka yang hidupnya di kantoran,” ungkap dia.

Dengan status mahasiswa nya itu, Ayu bisa ‘melebarkan sayap’ dalam ‘bisnisnya’ itu. Jika dulu dia hanya duduk merayu di kelab malam, kini dia sudah menjadi gadis simpanan.
Tak tanggung-tanggung, salah satu dosennya yang berhasil dia taklukkan. Setiap akhir pekan Ayu menemani kekasihnya itu keluar kota. Bahkan, belakangan kekasihnya melarang Ayu bekerja di kelab, dengan iming-iming uang jajan Rp 3 juta per bulan.

“Dia sih maunya saya cuma di rumah, nunggu dia pulang seperti istrinya. Tapi saya masih mikir mikir. Soalnya, saya enggak mau terkurung di rumah tanpa uang jajan harian. Tapi seandainya dia mau menjadikan saya istri simpanan, mungkin saya akan nurut apa katanya,” kata Ayu.

Ayu mengaku memimpikan rumah tangga seperti perempuan-perempuan lain. Dia akan berusaha lulus sarjana dengan cepat, dan mencari pekerjaan halal. Dia berharap suatu saat nanti, dia akan menemukan lelaki pujaan hati yang siap menerima masa lalunya sebagai pekerja seks komersial.

“One day. Saya akan pergi dari kehidupan ini. Saya akan menjadi istri dari laki-laki yang baik. Saya akan melahirkan anak-anak saya, dan saya akan melihat adik-adik saya menjadi apa yang mereka cita-citakan. Untuk saat ini, tidak apa-apa saya bekerja sebagai PSK. Demi orangtua, dan menyekolahkan adik-adik saya,” tutupnya seraya menyeka air mata.


sumber::http://akuindonesiana.wordpress.com
Read More...

Membuat calon pekerja yang berkualitas dan terpuji

NI Putu Maitri Nara Suari tak dapat menyembunyikan kegembiraannya. Pasalnya, siswa SMA peraih nilai tertinggi UAN 2011 asal Bali ini tak menyangka kalau namanya lolos untuk mengikuti Program Pendidikan Akuntansi (PPA) PT Bank Central Asia Tbk (BCA).

Harapan satu-satunya Maitri - begitu perempuan enerjik itu akrab disapa - untuk dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi hanyalah pada PPA BCA. “Saya sudah banyak mendengar referensi mengenai kualitas PPA BCA. Saya senang karena setelah PPA selesai, ada kesempatan bekerja di BCA,” ujar Maitri, sedikit terbata.

Ahmad Fauzi asal Kendari, Sulawesi Tenggara, juga tak dapat menyembunyikan kebanggaannya menjadi bagian dari PPA BCA. “Di sini kami saling mendukung seperti keluarga. Alumni PPA juga sering berkunjung untuk berbagi pengalaman dan membimbing kami,” kata pria ramah itu.

Lain lagi dengan Riska. Peserta PPA angkatan 30 pada 2012 ini menilai bahwa belajar di PPA sudah seperti kuliah di tempat lain. “Di sini kita kuliah Senin-Jumat mulai pukul 08.00-16.30 WIB, dengan tiga kali istirahat. Sabtu belajar mandiri atau kelompok. Sudah begitu, dosen-dosennya juga profesional dan berkualitas. Pokoknya enjoy banget kuliah di sini,” ujar perempuan asal Sukabumi ini.

Diluncurkan pada 1996, PPA bertujuan untuk memberikan pendidikan nongelar gratis bagi lulusan SMA dan SMK atau sederajat, yang memiliki prestasi akademik namun punya kendala keuangan sehingga tidak dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Selama pendidikan, mereka memperoleh uang saku, dan fasilitas berupa buku-buku pelajaran, laboratorium komputer, serta pemeriksaan kesehatan.

Menurut Inge Setiawati, PPA merupakan program tanggungjawab sosial BCA yang bertujuan mendidik pelajar untuk mengetahui lebih dalam tentang ilmu akuntansi dan perbankan. “Program ini ditujukan kepada lulusan SMA dan SMK sederajat berprestasi, namun terkendala dalam hal finansial untuk melanjutkan pendidikan,” ujar Sekretaris Perusahaan BCA itu.
IPK Minimal 2,75

Dari tahun ke tahun, peserta program PPA terus meningkat. Didukung oleh tenaga pengajar berkualitas dari beberapa universitas ternama di Indonesia, maupun praktisi bisnis berpengalaman dengan strata Magister (S2) atau doktor (S3).

Pada akhir 2013, jumlah peserta program PPA tercatat sebanyak 342 orang, yang terdiri dari 8 kelas (batch 26-33). Sebanyak 77 peserta berhasil menyelesaikan program ini dan 76 di antaranya memilih untuk bergabung dengan BCA sebagai karyawan tetap pada 2013, selebihnya masih menjalani program tersebut.
Kepala Divisi Pembelajaran dan Pengembangan BCA Lena Setiawati mengatakan, peserta didik di PPA selain belajar akuntasi, juga dibekali dengan pelatihan softskill -- seperti kemampuan berkomunikasi, presentasi, dan diskusi. “Mereka juga lebih terekspos dengan dunia kerja karena berkesempatan magang. Setelah lulus, peserta dapat melanjutkan pendidikannya di universitas selama satu tahun untuk mendapatkan ijazah S1,” ujar Lena Setiawati.

Pola pendidikan PPA menekankan pada aspek kejujuran, integritas, dan kapabilitas. “Selama belajar, mereka harus taat pada aturan yang sangat ketat. Tidak heran alumnus PPA yang bekerja di BCA banyak menorehkan prestasi dan diminati oleh unit-unit kerja,” ungkap Herlina Pranoto, Manager Pengembangan Pendidikan BCA.
Program dilaksanakan selama 30 bulan secara gratis, dan bukan ikatan dinas. Setiap peserta diharuskan memenuhi ketentuan minimal Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sebesar 2,75. Jika tidak dapat memenuhi minimal IPK atau melanggar aturan disiplin yang berlaku, maka peserta tidak dapat meneruskan program. Hal ini bertujuan untuk menjaga standar kualitas pendidikan.

Pendidikan untuk Semua
Saat ini tidak sedikit dari anak bangsa yang belum bisa mengenyam pendidikan akibat keterbatasan biaya. Padahal, pendidikan di era modern ini merupakan investasi terbesar bagi keberhasilan manusia.
Menyadari pentingnya pendidikan bagi masa depan bangsa, BCA, melalui pilar Solusi Cerdas program Bakti BCA, lantas mengembangkan berbagai program pendidikan secara berkesinambungan. Antara lain melalui Program Pendidikan Akuntansi (PPA) nongelar.

Melalui pendidikan nongelar, khususnya PPA, BCA berharap dapat menggandeng lebih banyak insan pelajar muda Indonesia - seperti Maitri, Ahmad Fauzi, dan Riska - untuk menumbuhkembangkan potensi mereka di bidang ekonomi dan perbankan. BCA berharap, program tersebut dapat memberikan kontribusi positif terhadap dunia pendidikan di Tanah Air. [adv]

Sumber : Pasarmodal.inilah.com
Read More...